Istilah santri akhir-akhir ini mengalami penyempitan makna. Istilah santri yang dimaksud seringkali hanya untuk menyebut orang yang mengaji di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) atau di Pondok Pesantren. Padahal secara historis, penyebutan santri mempunyai makna lebih luas. Ungkapan tersebut merupakan sebagian pemantik diskusi yang disampaikan Kyai Nur Kholik Ridwan pada diskusi rutin yang diselenggarakan setiap malam Kamis Kliwon di Pendopo Oncor Punthuk Sewu (09/10/2024). Menurut Kyai Kholik, terdapat dua hal yang mendasar mengenai santri. Pertama, soal makna istilah santri. Kedua, soal visi masyarakat santri atau tujuan hidup santri.

Pemaknaan Santri
Merujuk pada beberapa babad, secara tekstual, istilah santri sudah mulai disebut sejak tahun 1800. Istilah santri digunakan untuk menyebut semua orang yang menjadi pengikut wali songo. Kala itu, masyarakat muslim secara keseluruhan disebut juga sebagai santri. Pada perkembangannya, santri merupakan orang yang melakoni ngaji, mengamalkan wirid, hizib, dan amalan syariah lainnya. Hingga akhir-akhir ini bagi masyarakat umum terdapat penyempitan makna santri sebagai sebutan bagi orang yang ngaji sore di TPQ.
Nilai-nilai atau visi kesantrian
Kyai Kholik berpandangan bahwa visi santri jika dirangkum adalah meniru cara hidup Nabi Muhammad s.a.w. Visi tersebut setidaknya didukung dari 4 aspek utama, yaitu:
1. Menyembah Alloh (Liya’budun)
Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Alloh, seperti termuat dalam al-Quran surat Adzariyat aya 56.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Wamaa kholaqtul jinna wal insa illaa liya’buduun
Artinya: Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adzariyat: 56).
Sejatinya, jalan hidupnya santri adalah realisasi terus menerus sebagai ibadah. Pemaknaan ibadah di sini bukan hanya beribadah di masjid, tetapi juga di rumah tangga, jalan, lahan pertanian, hingga menjalani profesi apapun. Ibadah bukan hanya dalam bentuk dzikir, tetapi lebih luas seperti menyapa orang, menggembirakan orang, dan berbuat baik pada sesama makhluk. Makna illa liya’budun di sini perlu diperluas dan diperdalam supaya kita tidak berhenti pada rutinitas.
Lebih lanjut disebutkan beberapa takwil oleh Ibnu Abbas, ahli sufi Islam, bahwa makna beribadah di sini untuk lebih mengenal Tuhan yang disembah sebagai pencipta (liya’rifuun). Ada beberapa tahap pengenalan Tuhan di sini, mulai dari mempelajari dari kitab, buku, pengajian, amalan, hingga mengenal dengan rasa melalui pengalaman dan refleksi.
2. Menjadi Kholifah
Manusia diutus ke dunia untuk menjadi kholifah, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran surat Al-Baqoroh ayat 30.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.” (QS. Al Baqarah: 30).
Secara bahasa kholifah dimaknai sebagai wakil. Manusia merupakan wakil Alloh untuk mewujudkan nilai rohman dan jamaliahnya Alloh. Hal ini didasari oleh penciptaan manusia yang dibekali sifat-sifatnya Alloh yang bertujuan untuk mema’rifati Alloh. Selain sebagai kholifah, manusia juga sebagai badaliah, yaitu sebagai pengganti dari makhluk yang ada sebelumnya untuk mencapai perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangannya. Sebagai konteks, generasi makhluk sebelum Adam, perlu diganti melalui sifat-sifat manusia untuk menjalani wujud kekhilafahan manusia. Wujud kekhilafahan manusia adalah diberikannya ruh. Ruh merupakan wakilnya Alloh, maka idhofah ruh adalah kepada Alloh – dalam beberapa kajian disebut ruh idhofy. Badan adalah wakilnya ruh, maka amal-amal adalah wakilnya badan (semua amal) dan ruh (jika amal baik).
3. Memakmurkan bumi
هُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا
huwa ansya’akum minal-arḍi wasta‘marokum fīhā
Artinya: “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya,”. (QS. Al-Hud: 6)
Manusia diciptakan untuk suatu misi, ia adalah memakmurkan bumi. Menurut Kyai Kholik, jika konsep pemakmuran bumi tidak dipahami oleh manusia, pemimpin-pemimpin muslim, pemimpin-pemimpin aktivis, maka misi tersebut akan gagal menemukan relasi antara nilai-nilai yang diberikan Alloh kepada aplikasinya. Konteks memakmurkan bumi di sini dapat diartikan sebagai menghidupkan bumi yang mati, mengolah hasil bumi supaya lebih makmur dan mendukung manusia mewujudkan kekholifahannya melalui nilai-nilai rohmaniyah Alloh. Bukan digerus terus-menerus (eksploitatif) dan mengakibatkan kerusakan alam. Kerusakan tersebut dapat berupa ketandusan-ketandusan yang tidak bisa kita benahi lagi. Dalam hal ini, pertambangan yang eksploitatif dan merusak, tidak sejalan dengan konsep pemakmuran bumi karena melenceng dari sifat rohmaniyah Alloh.
4. Menghadapi Bala`
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (QS. Al-Insan: 2)
Diturunkannya manusia ke bumi merupakan perubahan bentuk manusia yang awalnya bersifat rohani (ruh; tidak wadak), ke dalam bentuk badani. Bentuk badani ini memunculkan adanya keragaman ciptaan –sebelumnya hanya menghadapi ketauhidan atau kelembutan dzat yang maha kuasa, setelahnya menghadapi keragaman. Keragaman tersebut berupa keragaman manusia, alam, agama, budaya, keragaman pendapat dan lainnya. Hal ini mengakibatkan manusia menghadapi banyak kekagetan. Kekagetan ini merupakan ujian yang diberikan oleh Alloh kepada manusia. Ujian ini disebut sebagai bala`. Bala` di sini meliputi bala` nikmat (ni’mah) hingga kesengsaraan (niqmah). Atas adanya banyak ujian ini, diutuslah nabi dan rosul oleh Alloh untuk membawakan rahmat atas semua keragaman tersebut.
***
Untuk membuat nyala hidup santri dan beriman, perlu mempertimbangkan olahan atas 4 aspek nilai-nilai atau visi kesantrian tersebut. Meski dalam kenyataannya akan menghadapi banyak bala` yang terdiri dari nikmat dan kesengsaraan. Santri perlu juga menyandarkan persoalannya pada takdir, perintah, dan ridlo Alloh. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang harus dipahami, karena semua kebaikan dan keburukan datangnya dari Alloh. Seperti takdir, meskipun sudah tercatat di lauh mahfudz, yang bisa membaca dan mengaksesnya hanyalah Alloh. Tugas santri adalah melazimi tarekatnya masing-masing untuk dapat memakmurkan bumi hingga mendapatkan ridlo Alloh.
Leave a Reply